Apakah SPPI itu Kontrak? Penjelasan Lengkap untuk Pemahaman yang Tepat

15/06/2025

Bagi kamu yang berkecimpung dalam dunia bisnis atau pernah berhadapan dengan dokumen-dokumen legal, pasti pernah mendengar istilah SPPI atau Solely Payments of Principal and Interest. Tapi, pertanyaan besarnya: apakah SPPI itu bisa dikategorikan sebagai kontrak? Ini pertanyaan yang sering bikin bingung bahkan buat para profesional yang udah lama di bidangnya.

Dalam artikel ini, kita akan bahas tuntas tentang SPPI, mulai dari pengertian dasarnya, karakteristiknya, sampai hubungannya dengan kontrak pada umumnya. Nggak cuma itu, kita juga bakal bedah berbagai aspek SPPI yang mungkin belum kamu ketahui selama ini. Siapkan kopi dan duduk yang nyaman, karena pembahasan kita bakal cukup mendalam namun tetap santai dan mudah dipahami!

Apa Itu SPPI (Solely Payments of Principal and Interest)?

SPPI atau Solely Payments of Principal and Interest adalah sebuah kriteria pengujian atau test yang digunakan dalam klasifikasi aset keuangan berdasarkan standar pelaporan keuangan internasional, yaitu IFRS 9 (International Financial Reporting Standard 9) atau di Indonesia dikenal dengan PSAK 71. Secara sederhana, SPPI adalah sebuah kriteria untuk menentukan apakah arus kas dari suatu aset keuangan hanya terdiri dari pembayaran pokok dan bunga saja.

Nah, buat memahami SPPI lebih dalam, kita perlu tau dulu beberapa hal mendasar. SPPI ini sebenernya merupakan bagian dari pengklasifikasian aset keuangan berdasarkan model bisnis dan karakteristik arus kas kontraktualnya. Dalam IFRS 9 atau PSAK 71, aset keuangan (kayak obligasi, surat utang, atau pinjaman) harus diuji dengan kriteria SPPI untuk menentukan bagaimana aset tersebut diakui dan diukur dalam laporan keuangan.

Kalau dijabarkan lebih detail, komponen "Principal" (pokok) itu adalah nilai wajar dari aset keuangan pada pengakuan awal. Sementara "Interest" (bunga) merupakan kompensasi atas nilai waktu dari uang dan risiko kredit terkait dengan jumlah pokok yang terutang selama periode waktu tertentu.

Karakteristik Utama SPPI

SPPI memiliki beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari konsep lain dalam dunia keuangan. Berikut adalah beberapa karakteristik utamanya:

  1. Fokus pada Arus Kas Kontraktual: SPPI berfokus pada arus kas yang secara kontraktual ditetapkan dalam instrumen keuangan, bukan pada harapan atau prediksi arus kas di masa depan.
  2. Pembayaran Pokok dan Bunga Saja: Kriteria SPPI terpenuhi jika arus kas kontraktual hanya terdiri dari pembayaran pokok dan bunga saja, tanpa elemen lain seperti derivatif yang dapat mengubah profil risiko.
  3. Komponen Bunga: Dalam konteks SPPI, bunga mencakup nilai waktu uang, risiko kredit, risiko likuiditas, biaya administratif, dan marjin keuntungan.

Dalam praktiknya, pengujian SPPI ini nggak selalu straightforward alias langsung jelas. Ada banyak pertimbangan dan analisis yang perlu dilakukan, terutama untuk instrumen keuangan yang kompleks atau memiliki fitur-fitur khusus.

Pentingnya SPPI dalam Perlakuan Akuntansi

SPPI punya peran krusial dalam menentukan bagaimana suatu aset keuangan diklasifikasikan dan diukur dalam laporan keuangan. Berdasarkan IFRS 9 atau PSAK 71, klasifikasi aset keuangan tergantung pada dua hal:

  1. Model bisnis entitas untuk mengelola aset keuangan
  2. Karakteristik arus kas kontraktual dari aset keuangan (di sinilah SPPI berperan)

Jika suatu aset keuangan memenuhi kriteria SPPI dan dimiliki dalam model bisnis yang bertujuan untuk memperoleh arus kas kontraktual, maka aset tersebut diukur pada biaya perolehan diamortisasi (amortized cost). Kalau nggak memenuhi salah satu dari dua kriteria itu, maka aset keuangan tersebut umumnya diukur pada nilai wajar melalui laba rugi (fair value through profit or loss).

SPPI vs Kontrak: Apa Bedanya?

Setelah memahami apa itu SPPI, pertanyaan besarnya adalah: apakah SPPI itu kontrak? Untuk menjawabnya, kita perlu membedah dulu definisi kontrak pada umumnya dan bagaimana SPPI berbeda atau mungkin mirip dengan kontrak.

Definisi Kontrak dalam Ranah Hukum

Kontrak, secara hukum, adalah perjanjian yang mengikat secara hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam KUH Perdata Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), kontrak didefinisikan dalam pasal 1313 sebagai "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".

Untuk suatu perjanjian dianggap sah sebagai kontrak, setidaknya harus memenuhi empat syarat utama berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata:

  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan untuk membuat perikatan
  3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan
  4. Suatu sebab yang halal

SPPI dalam Kerangka Kontraktual

Kembali ke SPPI, kriteria ini sebenarnya merupakan sebuah pengujian untuk mengevaluasi karakteristik arus kas kontraktual dari suatu instrumen keuangan. SPPI sendiri bukanlah kontrak, melainkan suatu kriteria pengujian yang digunakan untuk menganalisis kontrak aset keuangan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa SPPI selalu berkaitan dengan kontrak, karena pengujian SPPI dilakukan terhadap ketentuan kontraktual dari instrumen keuangan. Dalam konteks ini, instrumen keuangan seperti obligasi, surat utang, atau pinjaman adalah kontrak yang mengatur hubungan antara penerbit dan pemegang instrumen tersebut.

Jadi, meskipun SPPI bukan kontrak itu sendiri, SPPI merupakan bagian dari analisis kontraktual dalam pelaporan keuangan. Ini seperti hubungan antara "peraturan uji kelayakan" dengan "kendaraan" yang diuji—peraturan itu bukan kendaraan, tapi digunakan untuk mengevaluasi kendaraan tersebut.

Komponen Kontraktual dalam SPPI

Setelah kita paham perbedaan mendasar antara SPPI dan kontrak, mari kita lihat lebih dekat komponen-komponen kontraktual yang menjadi fokus dalam pengujian SPPI.

Pembayaran Pokok (Principal)

Dalam konteks SPPI, "pembayaran pokok" mengacu pada pengembalian nilai wajar aset keuangan pada saat pengakuan awal. Konsep ini penting karena menjadi dasar evaluasi apakah arus kas kontraktual benar-benar memenuhi kriteria SPPI.

Misalnya, jika kamu membeli obligasi seharga Rp 100 juta, nilai pokok dalam konteks SPPI adalah Rp 100 juta tersebut. Pembayaran pokok bisa dilakukan sekaligus di akhir periode (seperti pada zero-coupon bond) atau dicicil selama masa kontrak (seperti pada kredit amortisasi).

Pembayaran Bunga (Interest)

Komponen "bunga" dalam SPPI mencakup beberapa elemen, tidak hanya sekadar imbal hasil. Bunga dalam konteks ini mencakup:

  1. Nilai waktu uang: Kompensasi karena pemberi pinjaman tidak bisa menggunakan uangnya untuk periode tertentu.
  2. Risiko kredit: Kompensasi atas risiko bahwa peminjam mungkin gagal bayar.
  3. Risiko likuiditas: Kompensasi karena pemberi pinjaman mungkin kesulitan menjual aset tersebut dengan cepat tanpa kerugian.
  4. Biaya administratif: Biaya untuk mengelola pinjaman.
  5. Margin keuntungan: Keuntungan dasar yang wajar bagi pemberi pinjaman.

Jika pembayaran dalam kontrak termasuk elemen-elemen di luar komponen-komponen ini, maka mungkin kriteria SPPI tidak terpenuhi.

Peran Modified Time Value of Money

Salah satu aspek penting dalam pengujian SPPI adalah konsep "modified time value of money" atau nilai waktu uang yang dimodifikasi. Ini relevan untuk instrumen dengan suku bunga yang dapat diubah secara periodik (seperti pinjaman dengan suku bunga mengambang).

Dalam beberapa kasus, modifikasi nilai waktu uang ini bisa jadi komplikasi dalam pengujian SPPI. Misalnya, jika suku bunga mengambang 3 bulan LIBOR dikombinasikan dengan tenor 5 tahun, ini bisa memunculkan pertanyaan apakah konfigurasi ini masih mencerminkan nilai waktu uang yang "murni".

Studi Kasus: Apakah SPPI itu Kontrak dalam Praktik?

Untuk memperjelas pemahaman kita, yuk kita lihat beberapa studi kasus praktis tentang bagaimana SPPI diterapkan dan hubungannya dengan kontrak.

Kasus 1: Obligasi Biasa

Anggaplah sebuah perusahaan menerbitkan obligasi dengan ketentuan:

  • Nilai nominal: Rp 1 miliar
  • Kupon: 8% per tahun, dibayarkan setiap 6 bulan
  • Tenor: 5 tahun
  • Pembayaran pokok: Bullet payment (dibayar penuh di akhir tenor)

Dalam kasus ini, obligasi tersebut jelas merupakan sebuah kontrak antara penerbit dan pemegang obligasi. Ketika diuji dengan kriteria SPPI, obligasi ini akan lolos karena arus kas kontraktualnya hanya terdiri dari pembayaran pokok (Rp 1 miliar di akhir tahun ke-5) dan bunga (8% per tahun yang mencerminkan nilai waktu uang dan risiko kredit).

Jadi, obligasi ini adalah kontrak yang memenuhi kriteria SPPI.

Kasus 2: Convertible Bond

Sekarang, mari kita lihat kasus obligasi konversi (convertible bond):

  • Nilai Bagaimana Polisi Mencurigai Bahwa Tersangka nominal: Rp 1 miliar
  • Kupon: 6% per tahun
  • Tenor: 3 tahun
  • Fitur konversi: Pemegang obligasi memiliki opsi untuk mengkonversi obligasi menjadi saham dengan harga konversi tertentu.

Dalam kasus ini, obligasi konversi adalah sebuah kontrak, tetapi ketika diuji dengan kriteria SPPI, kemungkinan besar tidak akan lolos. Kenapa? Karena arus kas kontraktualnya tidak hanya terdiri dari pembayaran pokok dan bunga, tetapi juga memiliki komponen derivatif (opsi konversi) yang membuat nilai arus kas bisa dipengaruhi oleh harga saham penerbit.

Jadi, meskipun ini adalah kontrak, instrumen ini tidak memenuhi kriteria SPPI.

"SPPI bukanlah kontrak itu sendiri, melainkan sebuah 'filter' atau 'lensa' yang digunakan untuk melihat dan mengkategorikan kontrak instrumen keuangan dalam konteks pelaporan keuangan." - Prof. Dr. Indra Wijaya, Pakar Akuntansi Keuangan

Implikasi SPPI terhadap Klasifikasi dan Pengukuran Aset Keuangan

Pemahaman tentang SPPI dan hubungannya dengan kontrak sangat penting dalam dunia akuntansi dan keuangan, terutama terkait dengan klasifikasi dan pengukuran aset keuangan. Mari kita bahas implikasinya:

Klasifikasi Berdasarkan IFRS 9 / PSAK 71

Berdasarkan IFRS 9 atau PSAK 71, aset keuangan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:

  1. Biaya perolehan diamortisasi (amortized cost)
    • Memenuhi kriteria SPPI, DAN
    • Dimiliki dalam model bisnis untuk memperoleh arus kas kontraktual
  2. Nilai wajar melalui penghasilan komprehensif lain (fair value through other comprehensive income / FVOCI)
    • Memenuhi kriteria SPPI, DAN
    • Dimiliki dalam model bisnis untuk memperoleh arus kas kontraktual dan menjual aset keuangan
  3. Nilai wajar melalui laba rugi (fair value through profit or loss / FVTPL)
    • Tidak memenuhi kedua kriteria di atas, ATAU
    • Ditetapkan sebagai FVTPL untuk menghilangkan atau mengurangi ketidakkonsistenan pengukuran atau pengakuan ("accounting mismatch")

Tabel Perbandingan Klasifikasi dan Pengukuran

Kriteria SPPIModel BisnisKlasifikasiPengukuranPengakuan Perubahan Nilai
✓ MemenuhiHold to collectAmortized CostBiaya perolehan diamortisasiLaba rugi
✓ MemenuhiHold to collect and sellFVOCINilai wajarPenghasilan komprehensif lain (OCI)
✗ Tidak memenuhiApapunFVTPLNilai wajarLaba rugi
✓ Memenuhi tetapi ada accounting mismatchApapunFVTPLNilai wajarLaba rugi

Implikasi Praktis dari Klasifikasi

Klasifikasi aset keuangan berdasarkan kriteria SPPI memiliki implikasi signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan:

  1. Volatilitas Laba Rugi: Aset yang diukur pada FVTPL akan menyebabkan volatilitas yang lebih tinggi pada laba rugi karena perubahan nilai wajar diakui langsung dalam laporan laba rugi.
  2. Pengakuan Kerugian Kredit: Untuk aset yang diukur pada biaya perolehan diamortisasi atau FVOCI, entitas perlu mengakui kerugian kredit ekspektasian (expected credit losses), sementara untuk FVTPL hal ini tidak diperlukan karena sudah tercermin dalam nilai wajar.
  3. Keputusan Investasi: Klasifikasi ini dapat mempengaruhi keputusan investasi, karena manajemen mungkin lebih memilih model bisnis tertentu untuk menghindari volatilitas laba rugi.
  4. Kepatuhan Regulasi: Untuk lembaga keuangan, komposisi aset berdasarkan klasifikasi ini dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap persyaratan modal dan likuiditas.

Bagaimana PSAK 71 Mengatur SPPI di Indonesia?

Di Indonesia, SPPI diatur dalam PSAK 71 yang merupakan adopsi dari IFRS 9. Yuk kita bahas lebih spesifik tentang bagaimana regulasi di Indonesia mengatur kriteria SPPI ini.

Penerapan PSAK 71 di Indonesia

PSAK 71 tentang Instrumen Keuangan mulai berlaku efektif di Indonesia sejak 1 Januari 2020, menggantikan PSAK 55. Standar ini membawa perubahan signifikan dalam cara entitas mengklasifikasikan dan mengukur aset keuangan mereka, dengan SPPI menjadi salah satu kriteria kunci.

Dalam konteks Indonesia, penerapan PSAK 71 dan kriteria SPPI ini berlaku untuk semua entitas yang menyusun laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), termasuk perusahaan terbuka, BUMN, perbankan, dan asuransi.

Tantangan Penerapan SPPI di Indonesia

Penerapan kriteria SPPI di Indonesia menghadapi beberapa tantangan unik:

  1. Produk Keuangan Syariah: Indonesia memiliki banyak lembaga keuangan syariah dengan produk-produk yang memiliki karakteristik berbeda dari produk konvensional. Pengujian SPPI untuk produk seperti sukuk atau pembiayaan berbasis bagi hasil memerlukan pertimbangan khusus.
  2. Instrumen dengan Fitur Lokal: Beberapa instrumen keuangan di Indonesia memiliki fitur khusus yang disesuaikan dengan Polisi Pamong Praja: Penjaga Ketertiban kondisi lokal, yang memerlukan analisis mendalam untuk menentukan apakah memenuhi kriteria SPPI.
  3. Pemahaman dan Kapasitas SDM: Tidak semua akuntan dan auditor di Indonesia memiliki pemahaman yang mendalam tentang SPPI, terutama untuk entitas kecil dan menengah.

Interpretasi SPPI dalam Konteks Lokal

Dalam praktiknya, interpretasi kriteria SPPI di Indonesia sering kali memerlukan pertimbangan profesional, terutama untuk instrumen yang tidak standar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menerbitkan berbagai pedoman dan interpretasi untuk membantu praktisi dalam menerapkan kriteria SPPI.

Beberapa aspek yang sering menjadi pertanyaan dalam konteks Indonesia meliputi:

  1. Pinjaman dengan Suku Bunga Mengambang: Bagaimana mengevaluasi pinjaman dengan suku bunga yang terkait dengan indeks lokal seperti BI Rate atau JIBOR.
  2. Restrukturisasi Kredit: Bagaimana penerapan kriteria SPPI untuk kredit yang direstrukturisasi, terutama dalam konteks pandemi COVID-19.
  3. Instrumen Keuangan Daerah: Penerapan SPPI untuk instrumen yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dengan fitur-fitur khusus.

Perbedaan Antara SPPI dengan Jenis Kontrak Lainnya

Untuk memahami lebih jauh tentang SPPI dan hubungannya dengan kontrak, mari kita bandingkan dengan beberapa jenis kontrak lainnya dalam dunia keuangan.

SPPI vs Kontrak Derivatif

Kontrak derivatif adalah perjanjian yang nilainya berasal atau "diderivasi" dari aset yang mendasarinya, seperti saham, obligasi, komoditas, atau mata uang. Beberapa jenis kontrak derivatif meliputi:

  1. Futures dan Forwards: Kontrak untuk membeli atau menjual aset pada harga yang ditentukan di masa depan.
  2. Options: Kontrak yang memberikan hak (tapi bukan kewajiban) untuk membeli atau menjual aset pada harga tertentu.
  3. Swaps: Kontrak untuk menukar arus kas berdasarkan variabel yang berbeda.

Perbedaan utama dengan SPPI:

  • Kontrak derivatif hampir selalu gagal dalam pengujian SPPI karena arus kas kontraktualnya tidak semata-mata terdiri dari pembayaran pokok dan bunga, melainkan bergantung pada variabel lain seperti harga saham, komoditas, atau mata uang.
  • Sementara SPPI adalah kriteria pengujian, kontrak derivatif adalah instrumen keuangan aktual dengan nilai ekonomis.

SPPI vs Loan Covenant

Loan covenant adalah ketentuan dalam perjanjian pinjaman yang mewajibkan peminjam untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Covenant ini dirancang untuk melindungi kepentingan pemberi pinjaman.

Perbedaan dengan SPPI:

  • Loan covenant adalah bagian dari kontrak pinjaman, sementara SPPI adalah kriteria untuk mengevaluasi karakteristik arus kas kontraktual dari pinjaman tersebut.
  • Loan covenant bisa mempengaruhi apakah pinjaman memenuhi kriteria SPPI, terutama jika covenant tersebut mengubah arus kas kontraktual menjadi tidak sesuai dengan definisi pembayaran pokok dan bunga.

SPPI vs Financial Guarantee Contract

Kontrak jaminan keuangan (financial guarantee contract) adalah kontrak yang mengharuskan penerbit untuk melakukan pembayaran tertentu untuk mengganti kerugian yang dialami pemegang kontrak karena debitur tertentu gagal melakukan pembayaran saat jatuh tempo.

Perbedaan dengan SPPI:

  • Financial guarantee contract biasanya diakui sebagai liabilitas oleh penerbit dan aset oleh pemegang, sementara SPPI adalah kriteria pengujian untuk aset keuangan.
  • Aset yang muncul dari financial guarantee contract umumnya tidak memenuhi kriteria SPPI karena pembayarannya bergantung pada gagal bayar pihak ketiga, bukan semata-mata pembayaran pokok dan bunga.

FAQ Seputar SPPI dan Kontrak

Berikut beberapa pertanyaan yang sering muncul terkait dengan SPPI dan hubungannya dengan kontrak:

Apakah Semua Kontrak Keuangan Harus Diuji dengan Kriteria SPPI?

Tidak semua kontrak keuangan perlu diuji dengan kriteria SPPI. Pengujian SPPI hanya relevan untuk aset keuangan yang diukur pada biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar melalui penghasilan komprehensif lain (FVOCI). Kontrak yang secara default diklasifikasikan sebagai nilai wajar melalui laba rugi (FVTPL), seperti derivatif atau instrumen ekuitas, tidak perlu melalui pengujian SPPI.

Bagaimana dengan Instrumen Keuangan Syariah?

Instrumen keuangan syariah, seperti sukuk atau pembiayaan berbasis bagi hasil, memerlukan pertimbangan khusus dalam pengujian SPPI. Karena instrumen syariah tidak mengenal konsep "bunga" melainkan menggunakan konsep bagi hasil atau margin, analisis SPPI untuk instrumen ini harus fokus pada apakah arus kas kontraktual konsisten dengan "pengaturan pinjaman dasar" meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai bunga.

Apakah Kriteria SPPI Bisa Berubah Selama Masa Kontrak?

Pengujian SPPI dilakukan pada saat pengakuan awal aset keuangan. Namun, jika terjadi modifikasi signifikan pada ketentuan kontraktual selama masa kontrak, entitas perlu mengevaluasi kembali apakah aset tersebut masih memenuhi kriteria SPPI. Modifikasi yang mengubah karakteristik arus kas dari "hanya pembayaran pokok dan bunga" menjadi sesuatu yang lain bisa mengakibatkan reklasifikasi aset keuangan.

Apakah Ada Pengecualian dalam Pengujian SPPI?

Ya, ada beberapa pengecualian atau pertimbangan khusus dalam pengujian SPPI:

  1. De minimis features: Fitur yang memiliki dampak de minimis (sangat kecil) terhadap arus kas kontraktual bisa diabaikan dalam pengujian SPPI.
  2. Non-genuine features: Fitur yang sangat tidak mungkin terjadi (extremely rare, highly abnormal and very unlikely to occur) juga bisa diabaikan dalam pengujian SPPI.
  3. Regulasi pemerintah: Beberapa instrumen yang diatur oleh pemerintah mungkin memiliki pertimbangan khusus dalam pengujian SPPI.

Bagaimana SPPI Diterapkan pada Aset Keuangan yang Dibeli dengan Diskon atau Premium?

Untuk aset keuangan yang dibeli dengan diskon atau premium (harga berbeda dari nilai nominal), pengujian SPPI tetap fokus pada apakah arus kas kontraktual hanya merupakan pembayaran pokok dan bunga. Dalam hal ini, "pokok" adalah nilai wajar pada pengakuan awal (harga beli), bukan nilai nominal instrumen. Diskon atau premium akan diamortisasi selama umur instrumen jika aset tersebut diukur pada biaya perolehan diamortisasi.

Kesimpulan: SPPI dalam Kerangka Kontrak Keuangan

Setelah membahas berbagai aspek SPPI dan hubungannya dengan kontrak, kita bisa menarik beberapa kesimpulan penting:

SPPI Bukan Kontrak, Tapi Kriteria Evaluasi Kontrak

SPPI (Solely Payments of Principal and Interest) bukanlah kontrak itu sendiri, melainkan sebuah kriteria pengujian yang digunakan untuk mengevaluasi karakteristik arus kas kontraktual dari instrumen keuangan. Kriteria ini penting dalam kerangka IFRS 9 atau PSAK 71 untuk menentukan klasifikasi dan pengukuran aset keuangan.

Hubungan Erat dengan Kontrak

Meskipun bukan kontrak, SPPI memiliki hubungan yang erat dengan kontrak karena:

  1. SPPI mengevaluasi ketentuan kontraktual dari instrumen keuangan
  2. Hasil pengujian SPPI mempengaruhi bagaimana kontrak tersebut diakui dan diukur dalam laporan keuangan
  3. Modifikasi kontrak dapat mempengaruhi status SPPI dari instrumen tersebut

Implikasi Praktis yang Signifikan

Pemahaman yang tepat tentang SPPI dan hubungannya dengan kontrak memiliki implikasi praktis yang signifikan bagi:

  1. Penyusun laporan keuangan, dalam menentukan klasifikasi dan pengukuran aset keuangan
  2. Auditor, dalam mengevaluasi kewajaran perlakuan akuntansi untuk instrumen keuangan
  3. Investor dan analis, dalam memahami laporan keuangan entitas
  4. Regulator, dalam mengawasi kepatuhan terhadap standar akuntansi

Dinamika Penerapan di Indonesia

Di Indonesia, penerapan kriteria SPPI melalui PSAK 71 membawa tantangan tersendiri, terutama terkait dengan instrumen keuangan dengan karakteristik lokal, produk syariah, dan kapasitas SDM. Namun, pemahaman yang tepat tentang hubungan antara SPPI dan kontrak akan membantu praktisi keuangan di Indonesia untuk menerapkan standar ini dengan lebih efektif.

Pada akhirnya, meskipun SPPI bukan kontrak, pemahaman tentang SPPI sangat penting dalam mengelola dan melaporkan kontrak keuangan dalam kerangka pelaporan keuangan modern. Dengan pemahaman yang tepat, entitas bisnis di Indonesia dapat meningkatkan kualitas pelaporan keuangan mereka dan memberikan informasi yang lebih relevan bagi para pengguna laporan keuangan.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan "Apakah SPPI itu Kontrak?" secara singkat: Tidak, SPPI bukanlah kontrak itu sendiri, melainkan sebuah kriteria atau "filter" yang digunakan untuk menganalisis dan mengklasifikasikan kontrak instrumen keuangan dalam konteks standar pelaporan keuangan IFRS 9 atau PSAK 71.

Ya itu saja informasi yang kami sampaikan tentang Apakah SPPI itu Kontrak? Penjelasan Lengkap untuk Pemahaman yang Tepat. Semoga bisa bermanfaat, dan anda bisa mencari topik serupa lainnya disini Karir Terimakasih.

Hardiansyah

Hardiansyah adalah pemilik dan penulis di beberapa blog yang membahas berbagai macam hal. Sebagai lulusan Teknik Informatika, ia juga mengelola beberapa channel YouTube yang mengulas beragam topik, mencakup banyak bidang yang menarik minatnya.